ARUSINFORMASI – Direktur Strategi Produktivitas dan Pertumbuhan Ekonomi Kementerian Keuangan Andriansyah menyampaikan bahwa pemerintah memiliki mesin pertumbuhan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% hingga 2029 mendatang. Salah satu yang dijelaskan oleh Andriansyah yakni instrumen kebijakan fiskal.
Menurutnya, ada beberapa strategi yang disiapkan pemerintah yakni insentif yang menyasar kelas menengah, penguatan daya beli masyarakat hingga pembukaan blokir atau efisiensi anggaran belanja Kementerian/Lembaga dan transfer ke daerah. “APBN juga tetap menjadi salah satu katalis dengan mengharapkan pihak swasta untuk tumbuh,” kata Andriansyah diskusi yang digelar Bloomberg Technoz di Jakarta, Jumat (5/12).
Terkait dengan insentif kelas menengah, salah satu yang dilanjutkan insentifnya yakni di sektor perumahan PPN DTP untuk pembelian rumah senilai Rp2-5 miliar di tahun 2026 serta memanfaatkan program magang nasional. “(Program magang nasional) untuk fresh graduate, kami tidak membatasi untuk kelas masyarakat tertentu saja. Ini kami harapkan juga menjadi salah satu pendorong ke penyerapan tenaga kerja. Tentu dengan adanya pemberian lapangan kerja ini kan akan mendorong dari sisi daya beli,” ucap Andriansyah.
Disamping itu, Kemenkeu juga berupaya untuk melakukan terobosan kebijakan, baik dari sisi suplai maupun demand. Dari sisi suplai, pemerintah memutuskan untuk memindahkan likuiditas negara sebesar Rp200 triliun di tahap pertama ditambah lagi Rp76 triliun di tahap kedua untuk alihkan ke industri perbankan.
Tak hanya itu, pemerintah juga melakukan deregulasi berupa pembentukan Satuan Tugas Percepatan Program Strategis Pemerintah. Terdapat tiga Kelompok Kerja (Pokja) di dalamnya, yakni: Percepatan Anggaran, Debottlenecking, serta Regulasi dan Penegakan Hukum. “Khusus Pokja debottlenecking, kami mencoba menyelesaikan (persoalan) dari sisi suplai,” tutur dia.
Selain itu, pemerintah juga menetapkan kebijakan insentif fiskal yang diberikan pemerintah pada kuartal III dan kuartal IV 2025, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT), program magang, insentif pajak ditanggung pemerintah, insentif tarif transportasi, dan lainnya. “Pada intinya, pemerintah menyiapkan berbagai program untuk memperkuat daya beli dan stabilisasi harga,” tambah dia.
BACA JUGA BERITA SPORT
Berita Sport Terbaru dan Terkini Update Setiap Hari
Perlambatan Peredaran Uang
Pada kesempatan yang sama, Kepala Ekonom PermataBank, Josua Pardede menyoroti perlambatan peredaran uang (velocity of money) dan kredit di masyarakat. Josua mencatat, dari tahun 2010 sampai paruh pertama 2025, kecepatannya hanya di kisaran 2,5%
“Sampai semester I-2025 itu memang menurun. Jadi rata-rata historisnya hanya sekitar 1,21 persen, kecepatan dari perputaran dari uang itu untuk bisa menetes kepada masyarakat. Itulah mengapa, sekalipun tentunya debatable juga, Pak Menteri Keuangan selalu mengatakan bahwa M0 dalam tren penurunan. Meskipun mungkin kita harus lihatnya secara lebih komprensif juga itu karena efek juga dari kebijakan KLM-nya Bank Indonesia. Adapun data lainnya, adjusted M0 sebenarnya enggak turun-turun banget. Tapi memang saya sepakat dengan Pak Menteri bahwa kecepatan perputaran uang itu makin menurun. Makanya diperlukan tadi, tambahan likuiditas,” lanjut Josua.
Josua turut mencatat penempatan SAL pemerintah di Bank Indonesia di 2025 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan misalkan tahun-tahun sebelumnya. Secara historis, pola penempatan SAL di BI di awal tahun cenderung akan cukup tinggi dan saat ada pembayaran untuk belanja pemerintah yang terkait infrastruktur ataupun belanja modal, biasanya terjadi di akhir tahun, baru terjadi penurunan.

“Perhitungan kami terkait dengan penempatan dana SAL Rp200 triliun ke Himbara sebenarnya, setelah kami lakukan asesmen, likuiditas perbankan memang langsung meningkat dan itu sudah mulai terindikasi dimana pertumbuhan DPK di perbankan di bulan September pun langsung menguat hingga 11,18 persen, Bahkan di tahun 2025 saja membalikan, pertumbuhan DPK perbankan secara year to date lebih cepat dibandingkan pertumbuhan kredit,” jelas Josua.
Namun diakui Josua, pertumbuhan kredit lebih terkendala atau ada constraint di sisi permintaan. Dan ini membutuhkan dorongan bukan nya dari sisi kebijakan fiskal saja, tapi justru kebijakan kementerian dan lembaga lain untuk meningkatkan aktivitas dunia usaha di sektornya masing-masing. “Bagaimana agar sektor pertanian, perindustrian, manufaktur, perdagangan bisa tumbuh. Bagaimana K/L terkait memberikan mendorong ataupun memberikan insentif ke sektor-sektor usaha sehingga ini akan bisa menumbuhkembahkan sisi demand tadi?,” ujar Josua.
Pasalnya, aktivitas investasi di sektor riil justru melambat. Hingga kuartal III-2025, FDI menurut Josua turun hampir 8% meskipun PMDN masih tetap tumbuh 30%. Artinya, investor asing masih cenderung skeptis. “Kalau kita lihat di pasar keuangan, pasar modalnya pun baik itu kombinasi di pasar saham, obligasi dan SRBI, terlihat jelas bahwa di tahun 2025 secara year to date, investor asing membukakan net sell di pasar saham, obligasi dan SRBI. Kembali lagi, apakah memang ada kendala dari sisi confidence investor asing yang harus dibangun oleh pemerintah? Tentunya ini, jika bisa diselesaikan, akan bisa kembali lagi menumbuhkembangkan permintaan kredit,” sarannya.
